Senin, 23 April 2012

LAHIRNYA KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

Setelah lahirnya orde baru terbukalah kesempatan untuk membangun segala segi kehidupan. Puluhan undang – undang diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan warisan colonial.
Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk suatu panitia di departemen Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang – undang Hukum Acara Pidana. Pada waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri Kehakiman, penyempurnaan rencana itu diteruskan. Pada Tahun 1974 rencana terseut dilimpahkan kepada Sekretariat Negara dan kemudian dibahas olehwmpat instansi, yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri dan Departemen Kehakiman.
Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam penyusunan rencana tersebut diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12 September1979 Nomor R.08/P.U./IX/1979.
Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaran Tim Sinkronisasi dengan wakil pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal dengan Pasal 284.
Pasal 284 ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap hukum acara pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tapi kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda – tanda adanya usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 Tahun 1983 telah ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik – delik dalam perundang – undangan pidana khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini.
1.
a. Penyidik
b. Jaksa.
c. Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang – undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).

Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi undang – undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG – UNDANG ACARA PIDANA (Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209.

Minggu, 22 April 2012

linkfromblog

Advertise with my Blog


Register on a site and add your blog
Activate your blog. Activation consists in checking of the blog by a moderator. For this purpose you should place the invisible counter in one of the blog posts. The code of the counter will be given to you after registration
After acknowledgment that your blog is accepted, look at the list of offers accessible to bloggers, who have at least one activated blog, and choose what most appeals to you and your goals.
Send the invitation to the advertisers (located underneath the offer) and specify the price you are setting for the review.
Advertisers will then accept or reject the invitation - or may reply with a counteroffer. Some invitations remain open for a long time, therefore it is better to submit several invitations at once.
After your invitation has been approved by the advertiser, attentively study its requirements and write a post in the blog taking these requirements into account. Send to the advertiser the reference to the post.
The advertiser will check your work and if everything suits him or her, money will arrive into your account. However, he or she finds any defects, they may ask you to correct them. Advertisers have the right to refuse payment to those who fabricated knowledge about the subject in the invitation or those who didn't research the subject enough to write a proper review with proper grammar and spelling. Should a dispute arise, the definitive decision is determined by the Site Administrator. The basic document for decision-making are requirements of the Advertiser to a review and conformity of a review to these requirements.
blog advertising

Senin, 02 April 2012

hukum Pidana Islam

Pengertian lelang



Lelang adalah salah satu jenis jual beli di mana penjual menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual akan menentukan, yang berhak membeli adalah yang mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual. Dalam kitab-kitab fiqih atau hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah bai’ al-muzayadah (adanya penambahan).

Lelang (auction) menurut pengertian transaksi mua’amalat kontemporer dikenal sebagai bentuk penjualan barang di depan umum kepada penawar tertinggi. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi sebagaimana lelang ala Belanda (Dutch Auction) dan disebut (lelang naik). Di samping itu lelang juga dapat berupa penawaran barang pada mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin menurun sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa si penjual untuk melakukan lelang, dan biasanya ditandai dengan ketukan (disebut lelang turun).

Dasar hukum lelang

Jual beli model lelang (muzayadah) dalam hukum Islam adalah boleh (mubah). Di dalam kitab Subulus salam disebutkan Ibnu Abdil Barr berkata, ”Sesungguhnya tidak haram menjual barang kepada orang dengan adanya penambahan harga (lelang), dengan kesepakatan (di antara semua pihak).”

Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut… (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi)

Ibnu Qudamah, Ibnu Abdil Bar dan lainnya meriwayatkan adanya ijma’ (kesepakatan) ulama tentang bolehnya jual-beli secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di pasar umat Islam pada masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab juga pernah melakukannya demikian pula karena umat membutuhkan praktik lelang sebagai salah satu cara dalam jual beli.

Sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang, dengan dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,"Aku mendengar Rasulullah SAW melarang jual beli lelang." (sami'tu rasulallah SAW nahaa 'an bai' al-muzayadah). (HR Al-Bazzar). (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami' Ash-Shaghir, Juz II/191). Namun pendapat itu lemah karena dalam isnad hadits ini terdapat perawi bernama Ibnu Lahi'ah sedang dia adalah perawi yang lemah (dha`if) (Imam Ash-Shan'ani, Subulus Salam, Juz III/23)

Unsur-unsur lelang

1. Dilakukan dalam suatu saat dan disuatu tempat yang telah ditentukan secara pasti.

2. Dilakukan dengan adanya pengumuman terlebih dahulu.

3. Dilakukan dengan adanya penawaran yang kompetitif untuk membentuk suatu harga yang khusus.

4. Calon pembeli yang mengajukan tawaran tertinggi adalah pemenangnya.

5. Pelaksanaan lelang dilakukan dengan adanya campur tangan dan dihadapan pejabat lelang

6. Setiap pelaksanaan lelang harus dibuat risalah lelang oleh pejabat lelang.

Guide Line syari’at islam

Namun untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang maupun tender, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai guide line yaitu di antaranya:

1. Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela. (‘an taradhin).

2.objek lelang dan tender harus halal dan bermanfaat,

3. kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual,

4. kejelasan dan transparansi barang/jasa yang dilelang atau dutenderkan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya

5. kesanggupan penyerahan barang dari penjual,

6. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan.

7. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk memangkan tender dan tawaran.

Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang maupun tender dikategorikan para ulama dalam praktik Najasy (komplotan/trik kotor tender dan lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun service untuk memenangkan tender ataupun lelang yang sebenranya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki mitrabisnisnya.

Dengan demikian hukum profesi juru lelang dan bekerja di balai lelang diperbolehkan dalam Islam selama memenuhi kriteria umum yang digariskan syariatnya seperti di atas.

Kasus Lelang

JAKARTA – Jalan kompromi akhirnya dipilih untuk menyelesaikan kasus lelang gula impor ilegal 56.343 ton. Keputusan menyesuaikan harga lelang gula ilegal agaknya tidak terlalu mengejutkan. Kejaksaan Agung berkeyakinan proses lelang sah sehingga tidak mungkin membatalkan lelang. Keputusan itu menjadi jawaban telak terhadap desakan pembatalan lelang gula ilegal itu.

Gula yang dulu diimpor oleh Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) pada 2004 itu kembali menyengat polemik. Sejak awal, gula itu memang sarat dengan masalah. Gula dimasukkan ke wilayah pabean Indonesia oleh Inkud atas izin impor milik PTPN X.

Gula itu dinyatakan ilegal karena masuk melampaui batas waktu 30 April 2004 yang ditetapkan Departemen Perdagangan. Jumlah gula yang disita Bea dan Cukai Tanjung Priok pada saat itu mencapai kisaran 73.000 ton, namun yang dilelang hanya 56.343 ton.

Kasus ini sendiri menyeret Ketua Umum Inkud Nurdin Halid dan Kepala Divisi Perdagangan Umum Inkud Abdul Waris Halid ke dalam tahanan.

Tidak hanya itu, beberapa orang lainnya turut menjadi tersangka.

Dengan argumentasi gula tidak bisa bertahan lama, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara memohon lelang dilakukan.Pihak Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengeluarkan penetapan gula lelang pada 28 Desember 2004. Tetapi, proses lelang inilah dinilai sangat mendadak dan tidak transparan sehingga memicu protes berbagai pihak.

Proses penetapan hingga lelang terselenggara hanya rentang waktu tujuh hari.

Setelah penetapan pengadilan, pengumuman pengadaan tender dilakukan lewat Harian Jakarta 29 Desember 2004 kemudian lelang langsung dilaksanakan 4 Januari 2005. Terbatasnya waktu membuat peserta lelang terbatas pada lima perusahaan, yakni PT Angel Products, PT Sarana Inti, PT Cahaya Pratama, PT Graha Prima dan PT Bina Muda. Tender kemudian dimenangkan PT Angel Products senilai Rp 2.100/kg.

Hukum Acara Perdata

BAB I

PENDAHULUAN



A. Pengertian Hukum Acara Perdata

Sebagai bagian dari hukum acara (formeel recht), maka Hukum Acara Perdata mempunyai ketentuan-ketentuan pokok yang bersifat umum dan dalam penerapannya hukum acara perdata mempunyai fungsi untuk mempertahankan, memelihara, dan menegakan ketentuan-ketentuan hukum perdata materil. Oleh karena itu eksistensi hukum acara perdata sangat penting dalam kelangsungan ketentuan hukum perdata materil.

Adapun beberapa pengertian hukum acara perdata menurut beberapa pakar hukum

Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH

Beliau mengemukakan batasan bahwa hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.

Prof. Dr. Sudikno Mertukusumo, SH

Member batasan hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menetukan bagaimana caranyamenjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari pada putusannya.

Prof. Dr. R. Supomo, SH

Dengan tanpa memberikan suatu batasan tertentu, tapi melalui visi tugas dan peranan hakin menjelaskan bahwasanya dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijk rechtsorde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.

Berdasarkan pengertian –pengertian yang dikemukakan diatas serta dengan bertitik tolak kepada aspek toeritis dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah : Peraturan hukum yang mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses seseorang mengajukan perkara perdata kepada hakim/pengadilan. Dalam konteks ini, pengajuan perkara perdata timbul karena adanya orang yang merasa haknya dilanggar orang lain, kemudian dibuatlah surat gugatan sesuai syarat peraturan perundang-undangan.

Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaimana proses hakim mengadili perkara perdata. Dalam mengadili perkara perdata, hakim harus mendengar kedua belah pihak berperkara (asas Audi Et Alterm Partem). Disamping itu juga, proses mengadili perkara, hakim juga bertitik tolak kepada peristiwanya hukumnya, hukum pembuktian dan alat bukti kedua belah pihak sesuai ketentuan perundang-undangan selaku positif (Ius Constitutum)

Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus perkara perdata. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim (Eksekusi).

B. Sumber-sumber hukum acara perdata.

Dalam praktek peradilan di Indonesia saat ini, sumber-sumber hukum acara perdata terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan.

HIR (Het Herzine Indonesich Reglemen) atau Reglemen Indonesia Baru, Staatblad 1848.

RBg (Reglemen Buitengwesten) Staatblad 1927 No 277

Rv (Reglemen Hukum Acara Perdata Untuk golongan Eropa)

Staatblad No 52 Jo Staatblad 1849 No.63. namun sekarang ini Rv tidak lagi digunakan karena berisi ketentuan hukum acara perdata khusus bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan dengan mereka dimuka (Raad van Justitie dan Residentiegerecht. Tetapi Raad Van Justitie telah dihapus, sehingga Rv tidak berlaku lagi. Akan tetapi dalam praktek peradilan saat ini eksistensi ketentuan dalam Rv oleh Judex Facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) serta Mahkamah Agung RI tetap dipergunakan dan dipertahankan.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Undang-Undang.UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, yang mengatur tentang hukum acara kasasi UU No.8 Tahuun 2004 Tentang Peradilan Umum. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya. UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

C. Asas-Asas Hukum Acara Perdata Indonesia

Bertitik tolak kepada praktek peradilan Indonesia maka dapatlah disebutkan beberapa asas-asas umum hukum acara perdata Indonesia. Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van Rechtsspraak)

Peradilan yang terbuka untuk umum merupakan aspek fundamental dari hukum acara perdata. Sebelum perkara disidangkan, maka hakim ketua harus menyatakan bahwa “persidangan terbuka untuk umum” sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam perkara persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup untuk umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter) Dalam asas ini terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex Sine Actore) yang artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan. Mendengar Kedua belah pihak. Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween Instanties) Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.

Peradilan dengan membayar biaya. Peradilan perkara perdata pada asanya dikenakan biaya perkara (Pasal 4 Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145 Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri setempat untuk berperkara secara Cuma-Cuma (ProDeo).

D. Susunan Badan Peradilan di Indonesia.

Menurut UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh mahkamah agung dan badan peradilan dibawahnya. Jenis dan dasar badan peradilan di Indonesia terdapat dalam pasal 10 ayat (1) UU No 4 Tahun 2004, dikenal empat lingkungan peradilan di Indonesia yaitu :

1. Peradilan Umum (UU No 8 Tahun 2004)

2. Peradilan Agama (UU No 3 Tahun 2006)

3. Peradilan Militer (UU No 31 Tahun 1997)

4. Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 9 Tahun 2004)

Keempat badan peradilan tersebut kesemuanya dibawah Mahkamah Agung RI. Berdasarkan pasal 11 (1) UU No 4 Tahun 2004. Mahkamah Agung RI merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan diatas. Selanjutnya pada ayat dua (2) disebutkan, kewenangan Mahkamah Agung RI adalah :

Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan dimana semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.

Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenangan lain yang diberikan undang-undang.

Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun pidana yang dijalankan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di dalam peradilan umum diberntuk beberapa pengadilan khusus yang berada dilingkungan pengadilan negeri yaitu :

1. Pengadilan niaga (pasal 280 UU No.4 Tahun 1998 Tentang kepailitan)

2. Pengadilan anak (pasal 2 UU No.3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak)

3. Pengadilan hak asasi manusia (pasal 2 UU No.26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM)

4. Pengadilan tindak pidana korupsi

5. Pengadilan hubungan industrial (pasal 1 angka 17 UU No.2 Tahun 2004 Tentang penyelesaian Perselisihan hubungan industrial.)

6. Pengadilan perikanan.

7. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Berdasarkan UU No.3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, kewenangan pengadilan agama diperluas sebagaimana diatur dalam pasal 49 yaitu :pengadilan agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, infaq, zakat, dan ekonomi syari’ah.

ALAT BUKTI TESTIMONIUM DE AUDITU

A. PENDAHULUAN
Diskursus mengenai testimonium de auditu sampai sekarang masih terjadi dikalangan akademik dan kalangan praktisi antara menerima dan menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti sehingga berakibat tidak ada standar hukum (law standart) dan upaya unified legal frame work dan unified legal opinion. Oleh karena itulah lebih lanjut penulis akan mencoba untuk membahasnya dalam tulisan berikut ini, dengan sebuah pemikiran bahwa kebenaran dan keadilan itu tidak identik dengan rumusan peraturan perundang -undangan.
B. KONSEP TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM HUKUM PERDATA
Tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh dinilai dan dimasukkan sebagai alat bukti saksi yaitu pendapat pribadi saksi, dugaan saksi, kesimpulan, pendapat saksi, perasaan pribadi saksi dan kesan pribadi saksi. Memperhatikan syarat materiil alat bukti saksi tersebut maka keterangan yang diberikan harus bersumber dari pengalaman, penglihatan atau pendengaran dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak. Sedangkan keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya adalah berkualitas sebagai testimonium de audito yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami. Ada juga yang mendefinisikan kesaksian yang diperoleh secara tidak langsung dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri melainkan melalui orang lain. Atau Subekti menamakannya dengan kesaksian dari pendengaran. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa testimonium de audito berada diluar kategori keterangan saksi yang ditentukan Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUH Perdata oleh karena sumber kesaksian diperoleh secara tidak langsung atau berasal dari orang lain. Pertanyaan yang muncul adalah apakah testimonium de audito tetap tidak bernilai dan harus selalu ditolak sebagai alat bukti dalam hukum perdata ? atau testimonium de audito tetap benilai dan dapat diterapkan sebagai alat bukti ? kalau dapat bagiamana teknis penerapannya ?, sehingga ada standar hukum (law standart) yang baku untuk menyatukan rujukan hukum dan pendapat hukum.
C. TESTIMONIUM DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI
Pembahasan mengenai penerapan testimonium de auditu sebagai alat bukti dalam perkara perdata telah terjadi perdebatan di kalangan akademisi maupun kalangan praktisi antara kelompok yang menolak dan yang memperbolehkannya. Arus utama adalah mereka yang menolak atau tidak menerima kesaksian de auditu sebagai alat bukti, merupakan aturan umum yang masih kuat dianut para praktisi sampai sekarang. Saksi yang tidak mendasarkan keterangannya dari sumber pengetahuan sebagaimana yang digariskan Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata tidak diterima (inadmissable) sebagai alat bukti.
Menurut Sudikno pada umumnya kesaksian de auditu tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri sehingga saksi de auditu bukan merupakan alat bukti dan tidak berpendapat pada mulanya perlu dipertimbangkan. Begitu pula Subekti yang sama bahwa saksi de auditu sebagai keterangan yang didasarkan pada pandangan dari orang lain tentang sesuatu tidak ada harganya sama sekali.
Menurut Yahya Harahap pada umumnya sikap para praktisi hukum yang secara otomatis menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti tanpa adanya analisis dan pertimbangan yang argumentatif, dengan mengambil contoh Putusan Mahkamah Agung No. 881 K/Pdt/1983 tanggal 18 Agustus 1984 yang menegaskan saksi-saksi yang diajukan penggugat semuanya terdiri dari de auditu sehingga keterangan yang mereka berikan tidak sah sebagai alat bukti, Putusan Mahkamah Agung No. 4057 K/Pdt/1986 tanggal 30 April 1988 pada putusan inipun langsung ditolak dengan alasan para saksi terdiri dari saksi de auditu oleh karena itu tidak memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang sebagai alat bukti, dan Putusan Mahkamah Agung No. 1842 K/Pdt/1984 tanggal 17 Oktober 1985 karena ketiga orang saksi yang diajukan penggugat adalah de auditu sehingga tidak memenuhi syarat sebagai saksi yang memiliki nilai kekuatan pembuktian.
Sementara itu disisi lain dari kelompok arus utama tersebut, ada yang berpendapat membolehkan dengan membenarkan penerapan testimonium de auditu sebagai alat bukti. Subekti yang semula berpendapat testimonium de auditu tidak ada harganya sama sekali, namun kemudian berpendapat membenarkan penerapan keterangan saksi de auditu sebagai alat bukti apabila mereka terdiri dari beberapa orang dan keterangan yang disampaikan langsung mereka dengar dari tergugat atau penggugat untuk melengkapi keterangan saksi lain yang memenuhi syarat formil dan meteriil kesaksian sehingga memenuhi batas minimal pembuktian, atau keterangan saksi de auditu dipergunakan untuk menyusun persangkaan . Karena sebagai kesaksian keterangan saksi de auditu memang tidak ada nilainya akan tetapi bukan berarti hakim lantas dilarang untuk menerimanya. Yang dilarang adalah jika saksi menarik kesimpulan-kesimpulan, memberikan pendapat atau perkiraan -perkiraan.
Lebih lanjut kalau kita menelusuri yurisprudensi Peradilan Indonesia sesungguhnya dikalangan para praktisi sudah ada penerimaan testimonium de auditu sebagai alat bukti dengan beragam bentuk penerapannya. Pertama testimonium de auditu diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de auditu itu terdiri dari beberapa orang. Dalam putusan itu Mahkamah Agung membenarkan testimonium de auditu dapat digunakan sebagai alat bukti yang memenuhi syarat materiil. Hal ini terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan turun-temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesan-pesan seperti itu oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku dan benar. Walaupun demikian hal itu harus diperhatikan dari siapa pesan itu diterima berikut orang yang memberi keterangan harus orang yang menerima langsung pesan.
Ternyata masalah tersebut telah sepenuhnya telah terpenuhi dimana orang yang menerangkan pesan didalam majelis persidangan pengadilan adalah orang yang langsung menerima pesan. Kedua testimonium de auditu tidak digunakan sebagai alat bukti langsung tetapi kesaksian de auditu dikonstruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden) dengan pertimbangan yang obyetif dan rasional dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Sebagaimana terlihat pada putusan Mahkamah Agung No. 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959. Sesungguhnya putusan ini tetap berpegang pada aturan umum yang melarang kesaksian de auditu sebagai alat bukti, namun untuk menghindari larangan tersebut kesaksian itu tidak dikategorikan sebagai alat bukti saksi tetapi dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan (vermoeden).
Ketiga, membenarkan testimonium de audito sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi. Demikian putusan Mahkamah Agung No. 818 K/ Sip/1983 tanggal 13 Agustus 1984. Dalam putusan tersebut menyebutnya testimonium de audito sebagai keterangan yang dapat dipergunakan untuk menguatkan keterangan saksi biasa. Dalam kasus ini saksi yang langsung ikut dalam transaksi jual beli hanya saksi pertama, sedangkan saksi kedua dan ketiga hanya berkualitas sebagai de audito, akan tetapi meskipun demikian ternyata dalam persidangan keterangan yang mereka sampaikan merupakan hasil pengetahuan yang langsung bersumber dari tergugat sendiri.
D. PENUTUP
Sebagai penutup dari paparan sebagaimana tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tugas dan peran hakim untuk mencari kebenaran formil adalah tidak cukup hanya bersifat pasif namun harus aktif argumentatif karena hakim bukan mahluk yang tak berjiwa (antre anemimes) yang tidak mempunyai hati nurani dan kesadaran moral, sedangkan tujuan dan fungsi peradilan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truht and justice) .
2. Testimonium de audito tidak harus otomatis untuk ditolak sehingga tidak ada nilainya sama sekali, karena dapat diterima sebagai alat bukti dengan menganalisis dasar eksepsional untuk dapat diterimanya dengan mempertimbangkan sejauh mana kualitas dan nilai kekuatan pembuktiannya yang melekat pada keterangan saksi de audito tersebut.
3. Testimonium de audito dapat diterapkan secara eksepsional dalam bentuk sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain jika saksi de auditu itu terdiri dari beberapa orang, dikonstruksi menjadi alat bukti persangkaan (vermoeden), atau sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan seorang saksi.

Followers

Total Tayangan Halaman

Comments

free counters
 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons